Senin, 23 Januari 2012

peningalan sejarah

| Senin, 23 Januari 2012 | 1 komentar

Banyak kota-kota di Indonesia yang meninggakan sejarah dan aset-aset budaya yang harus kita abadikan, Berikut adalah peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di Indonesia:


Berikut adalah peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di Indonesia:


A. Buku – Buku


  1. Kitab Mahabarata, dikarang oleh Resi Wiyasa.
  2. Kitab Ramayana, dikarang oleh Mpu Walmiki.
  3. Arjuna Wiwaha, di karang oleh Mpu Kanwa (pada zaman kerajaan Airlangga, Kahuripan).
  4. Kitab Smaradahana, di karang oleh Mpu Darmaja (pada zaman Raja Kameswara I, Kediri.
  5. Kitab Bharatayuda, dikarang oleh Mpu Sedah dan empu panuluh (pada jaman Raja Jaya Baya, Kediri).
  6. Kitab Negarakertagama, dikarang oleh Mpu Prapanca (pada zaman Majapahit).
  7. Kitab,Sotasoma, di karang oleh Mpu Tantular (pada zaman Majapahit).

B. Prasasti-Prasasti


  1. Prasasti Muara Kaman, di tepi sungai Mahakam. Kalimantan Timur, tentang Kerajaan Kutai, didirikan kira-kira tahun 400 M
  2. Prasasti Ciaruteun, di daerah Bogor, Jawa Barat.
  3. Prasasti Kebon Kopi, di daerah Bogor, Jawa Barat.
  4. Prasasti Jambu, di daerah Bogor, JawaBarat.
  5. Prasasti Pasir Awi, di daerah Bogor, Jawa Barat.
  6. Prasasti Muara Cianten, di daerah Bogor, Jawa Barat.
  7. Prasasti Tugu, di daerah Bogor, JawaBarat.
  8. Prasasti Lebak, di daerah Bogor.Jawa Barat.    
  9. (Dari nomor 2 sampai dengan nomor 8 adalah prasasti-prasasti tentang Kerajaan Tarumanegara
  10. Prasasti Kedukan Bukit (684 M), di dekat Palembang.
  11. Prasasti Talang Tuo (684 M), di dekat Palembang.
  12. Prasasti Telaga Batu, di dekat Palembang.
  13. Prasasti Karang Berahi, di daerah Jambu Hulu.
  14. Prasasti Palas Pasemah, di daerah Lampung selatan.
  15. (Dari nomor 9 sampai dengan nomor 13 adalah prasasti-prasasti tentang kerajaan Sriwijaya).
  16. Prasasti Dinoyo (760 M) dekat Malang, tentang kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan.
  17. Prasasti Canggal (732 M) dekat Magelang, tentang Kerajaan Mataram Hindu dengan Raja Sanjaya.
  18. Prasasti Kalasan (778 M) dekat Yogyakarta, tentang Kerajaan Mataram Hindu dengan Raja Rakai Panangkaran.
  19. Prasasti Kedu (907 M), dari Raja Blitung, Kerajaan Mataram Hindu.

C. Candi – Candi


  1. Candi Muara Tikus : di Jambi.
  2. Candi Gunung Wukir : di Magelang, Jawa Tengah.
  3. Candi Kalasan : di Yogyakarta.
  4. Candi Condong songo : di Semarang, Jawa Tengah
  5. Candi Mendut : di Magelang, Jawa Tengah
  6. Candi Borobudur : di Magelang, Jawa Tengah
  7. Candi Sewu : di Magelang, Jawa Tengah.
  8. Candi Pawon : di Magelang. Jawa Tengah
  9. Candi Sari : di Magelang, Jawa Tengah.
  10. Candi Ngawen : di Magelang, Jawa Tengah
  11. Candi Dieng : di Jawa Tengah.
  12. Candi Prambanan : di Klaten, Jawa Tengah
  13. Candi Padas : di Tampak Siring, Bali.
  14. Candi Kidal : di Malang, Jawa Timur.
  15. Candi Singosari : di Malang, Jawa Timur.
  16. Candi Jago : di Malang, Jawa Timur.
  17. Candi Sumberjati : di Blitar, Jawa Timur.
  18. Candi Penataran : di Blitar, Jawa Timur.
  19. Candi Sawentar : di Blitar. Jawa Timur.
  20. Candi Surawana: di Pare, Jawa Timur.
  21. Candi Tigawangi : di Pare. Jawa Timur.
  22. Candi Bajangratu : di Mojokerto, Jawa Timur.
  23. Candi Tikus : di Mojokerto, Jawa Timur.
  24. Candi Waringin Lawang : di Mojokerto, Jawa Timur
  25. Candi Cangkuwang : di Jawa Barat.
  26. Candi Berahu : di Mojokerto, Jawa Timur.
  27. Candi Jabung : di Kraksan, Jawa Timur.
  28. Candi Raja Jongrang : di Klaten, Jawa Tengah.
  29. Candi Ijo : di Kalimantan Selatan

D. Arca – Arca


  1. Arca Buddha : di Candi Mendut.
  2. Arca Rara Junggrang : di Candi Prambanan.
  3. Arca Ken Dedes : di Candi Singasari.
  4. Arca Airlangga: di Candi Belahan.
  5. Arca Kertajasa : sebagai Harihara.
  6. ArcaTribhuwana : di Candi Arimbi.
  7. Arca Suhita : dari Kerajaan Majapahit.
  8. Arc Gajah Mada : dari Kerajaan Majapahit.
  9. Arca Ken. Arok : dari Kerajaan Singasari.
  10. Arca Kartanegara : dari kerajaan singasari

E. Keraton / Istana Raja


  1. Keraton Susuhunan, di Surakarta.
  2. Keraton Mangkunegaran, diSurakarta.
  3. Keraton Kasultanan, di Yogyakarta.
  4. Keraton Paku Alam, di Yogyakarta.
  5. Keraton Kasepuhan, di Cirebon.
  6. Kanoman, di Cirebon.
  7. Karaton Maimun, di Medan.
  8. Istana Raja Goa, di Sulawesi Selatan.
  9. Istana Raja Khungkung, di Bali.

F. Bangunan Mesjid


  1. Mesjid Raya, di Aceh, Daerah Istimewa Aceh.
  2. Mesjid Demak, di Demak, Jawa Tengah.
  3. Mesjid Banten, Jawa Barat.
  4. Mesjid Katangka, di Katangka, Sulawesi selatan.
  5. Mesjid Azisi, di langkat Sumatra Utara.
  6. Mesjid Sunan Ampel, di Surabaya, Jawa timur.
  7. Mesjid Sunan Giri, di Gresik Jawa Timur.
  8. Mesjid Istiqlal, di Jakarta.

G. Makam-Makam Peninggalan Sejarah.


  1. Makam Raja - raja demak Demak, di Demak, Jawa Tengah.
  2. Makam Raja - raja Mataram. di Imogiri.
  3. Makam Raja - raja Mangkunegara, - di istana   Giri Tengah.
  4. Makam Maulana Malik Ibrahim, di Gresik, Jawa timur.
  5. Makam Sunan Giri, di Gresik, Jawa Timur.
  6. Makam Sunan Ampel, di Surabaya Jawa Timur.
  7. Makam Raja - raja Banten, di Banten. Jawa Barat.
  8. Makam Sunan Gunung Jati, di Cirebon.
  9. Makam Sunan Kalijaga, di Kadilangi Demak, Jawa Tengah.
  10. Makam Raja - raja Bugis, di Watang Lamuru. Katangga, Sulawesi Selatan.
  11. Makam Raja - raja Goa. di Katangga, Sulawesi Selatan.
  12. Makam Malikus Saleh, di Aceh, Daerah Istimewa Aceh.

H. Benteng - Benteng Bersejarah


  1. Benteng, Inang Bale : di Aceh, Daerah Istimewa Aceh.
  2. Benteng, Bonjol : di Bonjol  Sumatra Barat
  3. Benteng Duurstede : di Saparua, Maluku.
  4. Benteng Surason : di Banten, JawaBarat.
  5. Benteng Jagaraga : di Bali
  6. Benteng Kastilia : di Saparua Maluku
  7. Benteng Marlbouegh : di Bengkulu
  8. Benteng Sombaupu : di Sulawesi Selatan

Readmore..

mengenal aksara sunda

| | 0 komentar





Dalam Sejarah
Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena.Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18.Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.
Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno (GAMBAR 1)

Tak ada bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak (naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan naskah kuno.

Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.

Naskah-naskah kuno Sunda yang memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyangan ini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab, yaitu dunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketika raga wadag (tubuh) meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli. 

Judul yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy atau Naskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dari Carita Parahyangan; hal ini terbukti dari ejaannya, seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo). 
Berikut naskah Sewaka Darma (GAMBAR 2). 

Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuah kabuyutan atau mandala, yakni pusat keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh dari kabuyutan tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.

Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri. Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.

Pemakaian aksara Sunda makin terkikis setelah aksara latin diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonialisasi pada abad ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan Mataram Sultan Agung atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama mengakibatkan sastra-sastra Sunda lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda (carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah Sunda yang ditulis menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad Pajajaran yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan, pada masa pemerintahan Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati Sumedang. Isi babad ini menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda atas kosmologi dan hubungannya antara manusia sempurna dengan mandala kekuasaan.

Sistem Aksara Sunda
Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.

Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Berikut tabel aksara swara Sunda (GAMBAR 3)

Sedangkan aksara ngalagena adalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut tabel aksara ngalagena Sunda (GAMBAR 4)

Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni: panghulu (di atas), panyuku (di bawah), pemepet (di atas), panolong (di kanan), peneleng (di kiri), dan paneuleung (di atas). Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda (GAMBAR 5) :

Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran –ng), pangwisad (akhiran –h), dan panglayar (akhiran –r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tenngah kata, yakni pamingkal (sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan panyiku (sisipan -l-). Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda pamaeh dalam aksara Sunda (GAMBAR 6)

Readmore..

Senin, 02 Januari 2012

makanan khas sunda

| Senin, 02 Januari 2012 | 0 komentar

Makanan Khas Sunda Jawa Barat Nama Masakan Kuliner Tradisional Asli Jawa Barat - Belum pernah mencoba hidangan kuliner ala masyarakat Sunda Jawa Barat? Kalau Anda sedang berada di bumi pasundan, tak lengkap rasanya jika tidak ikut icip icip makanan asli dari Jawa barat. Berbagai macam jenis olahan masakan kuliner asli khas Sunda memang selalu hadir dengan varian yang sangat menarik dengan cita rasa masakan yang luar biasa. Sehingga pantas saja jika makanan Sunda ini kerap menjadi makanan favorit buat para pecinta kuliner.

Masakan Sunda Jawa Barat

Nasi Timbel Makanan Khas Sunda Jawa Barat


Sangat berbeda jika di bandingkan dengan rumah makan pada umumnya, Dapur Sunda selalu hadir dengan sungguhan masakan yang berbeda dan siap memanjakan lidah Anda.

Sega Lengko
Nasi lengko ini bisa di jumpai dan merupakan makanan khas masyarakat pantai utara seperti Cirebon. Walaupun terlihat sederhana makanan khas ini sarat dengan protein dan serat juga makanan rendah kalori, karena bahan-bahan untuk membuat nasi lengko adalah 100% non-hewani. Bahan-bahannya untuk membaut nasi lengko ini antara lain: nasi putih ( lebih nikmat kalau masih panas atau hangat), tahu goreng, tempe goreng, mentimun untuk lalap, tauge yang sudah direbus, daun kucai (dipotong kecil-kecil), taburan bawang goreng, serta bumbu kacang (seperti bumbu rujak) dan kecap manis. Pada umumnya kecap manis yang sering dipergunakan adalah kecap manis encer, bukan yang kecap manis kental yang isiramkan ke atas semua bahan.

Karedok
Makanan karedok atau keredok adalah juga merupakan makanan khas daerah di Indonesia asal jawa barat. Makanan karedok ini dibuat dengan menggunakan bahan-bahan diantaranya adalah ketimun, ada tauge, kol, kacang panjang, daun kemangi, serta terong. Sedangkan untuk bahan sausnya dibuat dari bahan cabai merah, bawang putih, kencur, kacang tanah, air asam, gula jawa, garam, dan terasi.

Ladu
Makanan atau jajanan Ladu ini merupakan suatu penganan yang terbuat dari ketan. Makanan tradisional ini yang berasal dari daerah Malangbong, Garut, Jawa Barat. Untuk pembuatan Ladu, bahan dasarnya terbuat dari tepung ketan putih sangrai, kemudian gula putih, gula aren merah, serta kelapa yang telah diparut.

Lotek
Makanan Lotek ini hampir mirip dengan pecel, yaitu jenis makanan dari beberapa sayuran yang sudah direbus kemudian disiram dengan menggunakan sambal dari bumbu bumbu kacang. Yang menjadi keunikan dari makanan ini yaitu bahan untuk sambalnya di samping kacang seringkali juga ditambahkan pakai tempe dan dalam bumbunya ditambahkan terasi, gula merah, dan bawang putih. Pada umumnya makanan lotek ini terasa sedikit lebih manis jika di bandingkan dengan pecel. Disamping itu kalau sambal pecel bumbunya sudah dicampur sebelumnya, sedangkan untuk lotek bumbu baru ditambahkan jika makanan akan dihidangkan. Makanan Lotek ini dapat disajikan dengan pakai lontong atau bisa juga pake nasi hangat, disertai dengan kerupuk dan taburan bawang goreng.

Nama nama makanan tradisional asli khas Jawa Barat lainnya adalah :

Soto Bandung, Batagor, Bakso Kocok, Serabi, Combro, Misro, Serabi Oncom, Peuyeum, Cireng, Combro, Gepuk, Ambokueh, Colenak, Bala-bala, Bandrek, Bajigur, Tahu Sumedang, Dodol Garut, Sega Jamblang, Tahu Gejrot, dll.

Makanan asli sunda, jajanan sunda jawa barat, kuliner sunda jawa barat, makanan tradisional sunda jawa barat, kuliner jawa barat, masakan khas sunda, masakan khas jawa barat.

Readmore..

bela diri khas jawa barat

| | 0 komentar



Pencak silat merupakan seni beladiri asli Indonesia. Induk organisasi pencak silat di Indonesia adalah IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia). Sementara, induk organisasi internasionalnya bernama PERSILAT (Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa).

Ya, ternyata beladiri pencak silat tidak hanya dikenal di Indonesia, dan Asia saja, negara-negara lain yang berada di kawasan Eropa dan Amerika pun mengenal beladiri yang satu ini. Meski belum masuk ke dalam salah satu ajang beladiri yang dipertandingkan di Olimpiade, beladiri pencak silat sudah mulai dilaksanakan secara rutin, banyak event beladiri pencak silat yang digelar secara internasional, salah satu ajang terbesar beladiri pencak silat ini adalah kejuaraan dunia pencak Silat.

Melihat reputasi pencak silat yang notabene berasal dari Indonesia, penulis aga sedikit miris. bagaimana tidak, pendekar beladiri pencak silat yang berhasil menjuarai turnamen di tingkat dunia lebih banyak berasal dari negara tetangga, yakni Vietnam, Bukan Indonesia. Nah, bagi Anda yang ingin tahu bagaimana perkembangan pencak silat dari awal kemunculannya hingga saat ini, berikut penulis sajikan uraiannya.

Asal Usul Istilah Seni Beladiri Pencak Silat


Nama pencak silat dipilih pada 1948 untuk menyatukan istilah bagi berbagai aliran beladiri di Indonesia. Pencak silat merupakan gabungan dua kata yang paling umum digunakan untuk menyebut seni bela diri di tanah air. Pencak adalah istilah yang digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan istilah silat dipakai di Sumatra.

Asal kata pencak dan silat sendiri tidak begitu jelas. Ada yang berpendapat kata pencak berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, pancha, yang berarti lima. Pendapat lain mengatakan, kata pencak berasal dari bahasa Cina,  yang berarti mengelak atau menghindari.

Adapun, istilah silat berasal dari kata sekilat yang berarti seperti kilat atau secepat kilat. Istilah ini mungkin digunakan untuk menggambarkan kecepatan gerakan pendekar. Kata sekilat kemudian disingkat menjadi silat. Ada juga yang meyakini kata silat berasal dari kata elat yang berarti mengelabui.

Sejarah Seni Beladiri Pencak Silat


Tradisi seni beladiri pencak silat kebanyakan merupakan tradisi lisan, yang diturunkan dari mulut ke mulut. Sedikitnya catatan tertulis membuat sejarah pencak silat hanya diketahui melalui mitos dan bukti arkeologi. Bela diri pencak silat barangkali berasal dari kepiawaian suku-suku di Indonesia dalam berburu dan berperang menggunakan parang, tameng, dan tombak.

Sebuah cerita rakyat dari masa Kerajaan Sriwijaya mengisahkan, silat diciptakan seorang perempuan bernama Rama Sukana yang menyaksikan pertarungan seekor harimau dengan seekor burung besar. Dengan menggunakan jurus yang dia tiru dari gerakan perkelahian binatang yang dia lihat, Rama Sukana berhasil menghalau segeombolan lelaki mabuk yang menyerangnya.

Ada beragam cerita yang mirip di daerah-daerah lain. Di Pulau Boyan (Bawean) penemu jurus silat meniru gerakan dua monyet yang sedang bertarung. Sementara, di Jawa Barat, masyarakat suku Sunda percaya bahwa penemu jurus cimande menciptakan jurus tersebut setelah melihat perkelahian seekor monyet dan seekor harimau.

Keakuratan cerita tersebut tentu sulit dipastikan. Akan tetapi, cerita bahwa penemu jurus tersebut seorang perempuan membuktikan perempuan memiliki peran penting pada masyarakat Asia Tenggara di masa lalu.

Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai Selat Malaka, sehingga menjadi salah satu kerajaan terkuat di Asia Tenggara. Daerah kekuasaannya meliputi Sumatra, Singapura, Kalimantan Barat, Semenanjung Malaysia, dan Thailand.

Sriwijaya juga menjadi pusat bahasa dan ilmu pengetahuan, sehingga menarik cendekiawan dan agamawan dari daerah-daerah sekitar Asia Tenggara. Lebih dari seribu rahib Buddha tinggal dan belajar di Sriwijaya. Di antara mereka, ada yang berasal dari Jawa, Siam, Melayu, Cham, Khmer, dan China. Hal ini membuat silat tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara dan kemudian bersentuhan dengan seni bela diri setempat.

Sementara Sriwijaya mendominasi wilayah pantai, Kerajaan Sanjaya (atau Mataram) dan Syailendra memerintah Jawa bagian tengah. Pencak silat berkembang di Jawa, sehingga saat ini di Jawa terdapat lebih banyak aliran dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia.

Pada abad ke-13 Sriwijaya dikalahkan orang-orang Chola dari India selatan. Selanjutnya, Kerajaan Sanjaya dan Syailendra juga mengalami kemunduran. Kemudian, muncullah Kerajaan Majapahit yang mempersatukan seluruh pulau-pulau besar di Indonesia. Dari pusatnya di Jawa Timur, kebudayaan Nusantara, termasuk pencak silat, berkembang.

Di Sumatra Barat, Ninik Datuk Suri Diraja (1097 – 1198 M) menciptakan silek atau aliran silat. Di daerah Minangkabau ini padepokan atau tempat belajar silat dinamakan sasaran silek yang biasanya dimiliki oleh hampir setiap nagari.

Di Sulawesi Selatan, orang Bugis dan Makassar dikenal sebagai pelaut, navigator, dan pendekar ulung. Oleh mereka, pencak silat kemudian digunakan untuk melawan penjajah Belanda.

Setelah kemerdekaan, pencak silat dibawa ke Eropa oleh orang-orang Indo, seperti Paatje Pheffkerkorn. Seni bela diri ini saat ini populer di Belanda, Spanyol, dan Prancis. Perguruan silat juga dapat dijumpai di Amerika Serikat.

Tingkat Kemahiran Seni Beladiri Pencak Silat


Tingkat kemahiran seni beladiri pencak silat terbagi dalam tahapan-tahapan. Berikut ini tahapan-tahapan tingkat kemahiran dalam seni beladiri pencak silat:

  1. Pemula;
  2. Menengah;
  3. Pelatih;
  4. Pendekar.

Pendekar adalah pesilat yang kemahirannya telah diakui oleh para sesepuh perguruan. Seorang pendekar berhak mewarisi ilmu-ilmu rahasia tingkat tinggi.

Beladiri Pencak Silat di Dunia


Beladiri asal Indonesia ini telah berkembang pesat sejak abad ke-20. Beladiri pencak silat pun telah menjadi olah raga kompetisi di dunia di bawah penguasaan dan peraturan organisasi pencak silat seluruh dunia yang bernama Persilat (persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa atau The International Pencak Silat Federation).

Persilat sedang memperomosikan seni beladiri pencak silat di seluruh dunia untuk menjadi salah satu cabang yang dilombakan pada ajang olah raga dunia atau Olimpiade. Hanya anggota yang diakui Persilat yang diziankan berpartisipasi pada kompetisi internasional. Selain Persilat, federasi pencak silat pun ada di benua Eropa.

Pada 1986, untuk pertama kalinya, seni beladiri pencak silat diselenggarakan diluar Asia, yaitu di Wina, Austria. Pada 2002, seni beladiri pencak silat diperkenalkan sebagai bagian dari program pertunjukan di Asian Games yang digelar di Busan, Korea Selatan.

Aspek dan Bentuk Beladiri Pencak Silat


Seni beladiri pencak silat memiliki 4 aspek utama, yaitu aspek mental spiritual, seni budaya, beladiri, dan olah raga.

Aspek mental spiritual dari sebi beladiri pencak silat adalah mengembangkan dan membangun kepribadian dan karakter mulia seseorang. Para pendekar pencak silat zaman dulu sering melakukan semadi, tapa, atau aspek kebatinan lainnya untuk mencapai tingkat tertinggi keilmuannya.

Aspek seni budaya dari beladiri pencak silat ini sangat penting karena menggambarkan bentuk seni tarian pencak silat yang dipadukan dengan busana tradisional dan diiringi musik tradisional. Aspek bela diri dari pencak silat adlah kepercayaan dan ketekunan diri untuk menguasai ilmu beladiri dalam pencak silat.

Sementara itu, aspek olah raga dalam seni beladiri pencak silat sangat penting. Hal ini dikarenakan pesilat mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh. Aspek olah raga dalam seni beladiri pencak silat meliputi pertandingan dan dan demontrasi bentuk jurus, baik tunggal maupun grup.


benjang




Di Kabupaten Bandung, khusunya di Kecamatan Ujungberung, Cibolerang, Cibiru, Cinunuk, Cileunyi dan Rancaekek, ada sebuah seni bela diri yang disebut “Benjang”. Konon, seni bela diri benjang berawal dari kesenian terbangan yang sering dimainkan oleh para santri yang ada di pondok pesantren. Dari pondok pesantren, kesenian terbangan ini menyebar ke masyarakat sekitarnya melalui upacara tradisional, seperti: selamatan kelahiran bayi, panen padi, maulid nabi, khitanan, dan perkawinan.
Ketika sedang bermain terbangan itu, sambil bernyanyi, terkadang mereka melakukan gerakan-gerakan saling mendorong. Gerakan mendorong yang diiringi musik terbangan itu kemudian menjelma menjadi suatu kesenian baru yang dinamakan “Dogong”. Pada kesenian dogong ini, para pemainnya akan saling mendorong dengan mempergunakan alu (alat penumbuk padi yang terbuat dari kayu).
Permainan dogong berkembang lagi menjadi suatu permainan saling mendesak tanpa menggunakan alat. Permainan baru ini disebut “Seredan”. Kemudian, permainan seredan berkembang lagi menjadi suatu permainan saling mendesak dengan pundak tanpa menggunakan alat maupun tangan. Permainan mendesak lawan hingga keluar arena ini disebut dengan “Adu Mundur”. Namun, karena dalam permainan ini sering terjadi pelanggaran, maka adu mundur diganti menjadi “Adu Munding”. Dalam permainan adu munding, pemain tidak lagi mendorong dengan menggunakan pundak, melainkan mendorong dengan cara membungkuk (merangkak) dan mendesak lawan dengan kepala, seperti seekor munding (kerbau) yang sedang bertarung.
Lama-kelamaan, seiring dengan makin banyaknya gerakan-gerakan atau teknik untuk menjatuhkan lawan, maka adu munding pun berkembang lagi menjadi suatu permainan yang saat ini disebut sebagai benjang. Dalam permainan benjang, semua unsur dari permainan sebelumnya (terbangan, dogong, seredan, adu mundur, dan adu munding) diramu menjadi satu. Namun, tidak semua gerakan dalam permainan sebelumnya juga dipakai dalam permainan benjang. Misalnya, gerakan atau teknik mendesak lawan dengan kepala yang dianggap cukup berbahanya, sudah jarang sekali digunakan oleh seorang pemain benjang (tukang benjang).


Readmore..

200 batik jawa barat

| | 0 komentar


Ketua Yayasan Batik Jawa Barat, Sendy Ramania Dede Yusuf mengatakan, Jawa Barat memiliki 200 motif batik yang model dan coraknya sesuai dengan masing-masing kabupaten. Sendy mengatakan, 200 motif berasal dari kabupaten-kabupaten yang ada di Jawa Barat itu telah dimuat dalam buku saku dan buku tersebut telah dipasarkan sebagai panduan dan ilmu pengetahuan untuk masyarakat yang ingin mengenal batik dari Jawa barat.

"Sudah ada 200 motif dari Jawa Barat yang sudah kita bukukan dibuat dalam bentuk buku saku sebagai panduan kepada pengrajin,: katanya kepada ANTARA News, di sela-sela kunjungannya di Gedung Balai Kota Bogor, Senin. Sebenarnya, jumlah motif di Jawa Barat bisa lebih dari 200, namun yang baru didata dan dikumpulkan oleh Yayasan Batik Jawa Barat hingga dibuat buku saku.

"Rencananya Desember kita akan me-launching 250 motif baru yang akan dibuat lagi buku sakunya," kata Sendy. Sendy mengatakan, daerah Cirebon memiliki corak batik yang paling banyak, yakni sebanyak 200 motif batik yang menambah jumlah motif batik di Jawa Barat.
Menurut Sendy, motif batik di Jawa Barat memiliki keunikan dan corak tersendiri, seperti di Bogor terdapat motif "hujan gerimis" dan "kujang kijang" menunjukkan ciri khas Bogor sebagai kota hujan.
Untuk menjaga batik khas tiap daerah tersebut terjaga kelestariannya, Yayasan Batik Jawa Barat bersama para pengusaha batik bersama-sama menginventarisir kembali batik-batik khas daerah-daerah di Jawa Barat. "Kita menginventarisir kembali batik-batik khas di 26 kabupaten dan kota di Jawa Barat," tutur istri Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf ini kepada detik.com
Lebih lanjut Sendy menuturkan kalaupun jika ada daerah-daerah yang tidak memiliki batik khas, maka akan dicari ciri khas daerah tersebut yang bisa diangkat, misalnya tenun. Dalam upaya inventarisasi ini, pihaknya dibantu oleh pengusaha dan desainer-desainer yang concern dalam mengembangkan batik.

Sendy mencontohkan, pamor Batik Garutan yang memang lebih populer daripada batik lainnya di Jabar, bukan karena batik Garutan memiliki kelebihan dibandingkan batik lainnya, tapi Batik Garutan belum punah. Banyak pengusaha yang terus menjaga keberadaan Batik Garutan ini.

Jika inventarisir sudah dilakukan, Sendy berharap bisa membuat balai batik dari seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Balai ini bisa jadi aset wisata bagi turis mancanegara yang ingin lebih tahu mengenai batik. Meskipun diakui Sendy dalam proses inventarisasi ini tidak ada target jangka waktu tertentu.

Untuk menjaga agar batik tetap lestari, salah satu caranya dengan lebih menyesuaikan batik baik dari corak maupun warnanya dengan selera pasar saat ini. Selain itu, nantinya bisa diperlihatkan proses membuat batik dari mulai menenun sampai bisa di tampilkan oleh para desainer dalam bentuk peragaan busana.
facebook : http://www.facebook.com/pages/Yayasan-Batik-Jawa-Barat/241982404037
foto : koleksi facebook yayasan batik jawabarat
sumber : antara, detik.com

Readmore..

senjata tradisional jawa barat

| | 0 komentar

Kujang (Senjata Tradisional Orang Sunda)

Pendahuluan
Jawa adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Jawa semata karena di sana ada orang Sunda yang berdiam di bagian barat Pulau Jawa (Jawa Barat). Mereka (orang Sunda) mengenal atau memiliki senjata khas yang disebut sebagai kujang. Konon, bentuk dan nama senjata ini diambil dari rasa kagum orang Sunda terhadap binatang kud hang atau kidang atau kijang yang gesit, lincah, bertanduk panjang dan bercabang, sehingga membuat binatang lain takut.

Apabila dilihat dari bentuk dan ragamnya, kujang dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: (1) kujang ciung (kujang yang bentuknya menyerupai burung ciung); (2) kujang jago (kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago); (3) kujang kuntul (kujang yang bentuknya menyerupai burung kuntul); (4) kujang bangkong (kujang yang bentuknya menyerupai bangkong (kodok)); (5) kujang naga (kujang yang bentuknya menyerupai ular naga); (6) kujang badak (kujang yang bentuknya menyerupai badak); dan (6) kudi (pakarang dengan bentuk yang menyerupai kujang namun agak “kurus”). Sedangkan, apabila dilihat dari fungsinya kujang dapat pula dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: (1) kujang sebagai pusaka (lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan); (2) kujang sebagai pakarang (kujang yang berfungsi sebagai senjata untuk berperang); (3) kujang sebagai pangarak (alat upacara); dan (4) kujang pamangkas (kujang yang berfungsi sebagai alat dalam pertanian untuk memangkas, nyacar, dan menebang tanaman).

Struktur Kujang
Sebilah kujang yang tergolong lengkap umumnya terdiri dari beberapa bagian, yaitu: (1) papatuk atau congo, yaitu bagian ujung yang runcing yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil; (2) eluk atau siih, yaitu lekukan-lekukan pada badan kujang yang gunanya untuk mencabik-cabik tubuh lawan; (3) waruga yaitu badan atau wilahan kujang; (4) mata[1], yaitu lubang-lubang kecil yang terdapat pada waruga yang jumlahnya bervariasi, antara 5 hingga 9 lubang. Sebagai catatan, ada juga kujang yang tidak mempunyai mata yang biasa disebut sebagai kujang buta; (5) tonggong, yaitu sisi tajam yang terdapat pada bagian punggung kujang; (6) tadah, yaitu lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang; (7) paksi, yaitu bagian ekor kujang yang berbentuk lancip; (8) selut, yaitu ring yang dipasang pada ujung gagang kujang; (9) combong, yaitu lubang yang terdapat pada gagang kujang; (10) ganja atau landaian yaitu sudut runcing yang mengarah ke arah ujung kujang; (11) kowak atau sarung kujang yang terbuat dari kayu samida yang memiliki aroma khas dan dapat menambah daya magis sebuah kujang; dan (12) pamor berbentuk garis-garis (sulangkar) atau bintik-bintik (tutul) yang tergambar di atas waruga kujang. Sulangkar atau tutul pada waruga kunjang, disamping sebagai penambah nilai artistik juga berfungsi untuk menyimpan racun[2].

Sebagai catatan, terdapat beberapa pengertian mengenai kata pamor. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pamor adalah: baja putih yang ditempatkan pada bilah keris dan sebagainya; lukisan pada bilah keris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:720) disebutkan bahwa pamor adalah baja putih yang ditempakan pada bilah keris dan sebagainya atau lukisan pada bilah keris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Basa Sunda karangan Satjadibrata (1954:278) disebutkan bahwa pamor adalah “ngaran-ngaran gurat-gurat nu jiga gambar (dina keris atawa tumbak) jeung dihartikeun oge cahaya” yang artinya “pamor adalah nama garis yang menyerupai gambar (baik yang terdapat dalam keris ataupun mata tumbak) juga pamor dapat diartikan cahaya). Dalam bahasa Kawi, berarti campuran atau percampuran. Dan, dalam Enskilopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400) disebutkan bahwa pamor adalah permukaan bilah keris yang dipercaya mengandung khasiat baik atau khasiat buruk. Pamor yang berkhasiat baik adalah pamor yang dapat memberi keselamatan kepada pemilik atau pemakainya. Sedangkan pamor yang berhasiat buruk adalah pamor yang membawa sial atau ingin membunuh musuh atau bahkan pemiliknya sendiri.

Selain itu, Ensiklopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400) juga menyebutkan bahwa pamor berarti benda-benda yang berasal dari luar angkasa yang digunakan sebagai bahan pembuat kujang. Benda-benda luar angkasa dapat dibedakan menjadi: (1) meteorit, yaitu benda yang mengandung besi dan nikel yang bila dijadikan kujang akan berwarna putih keabu-abuan (pamor bodas). Pamor ini berkhasiat memberikan keselamatan; (2) siderit, yaitu benda yang hanya mengandung baja sehingga bila dijadikan kujang akan berwarna hitam (pamor hideung). Pamor ini biasanya berkhasiat buruk dan membahayakan; dan (3) aerolit, yaitu benda yang apabila telah dijadikan kujang akan berwarna kuning (pamor kancana).

Pamor yang terdapat pada senjata kujang diperkirakan berjumlah sekitar 87 jenis, yaitu: kembang pala, saleunjeur nyere, kenong sarenteng, malati sarenteng, padaringan leber, hujan mas, kemban lo, batu demprak, ngulit samangka, kembang lempes, malati nyebar, simeut tungkul, sinom robyong, beas mawur, baralak ngantay, sagara hieum, nuju gunung, rambut keli, mayang ligar, kembang kopi, tunggul wulung, kembang angkrek, tundung, sungsum buron, simbar simbar, sangga braja, poleng, ombak sagara, pulo tirta, manggada, talaga ngeyembeng, keureut pandan, tambal wengkon, huntu cai, bawang sakeureut, cucuk wader, gunung guntur, gajih, sanak, ngarambut, raja di raja, janus sinebit, kota mesir, lintang kemukus, kembang tiwu, sisit sarebu, tunggak semi, oray ngaleor, pari sawuli, sumur sinaba, selo karang, lintang purba, sumber, prabawa, pangasih, raja kam kam, riajah, bala pandita, pancuran mas, sumur bandung, adeg tilu, tangkil, kendagan, buntel mayit, kembang pakis, dua warna, karabelang, manggar, pandhitamangun suka, borojol, bugis, gedur, tunggak semi, tambol, tumpuk, sekar susun, huntu simeut, raja temenang, pulo duyung, bulan lima, pupus aren, wulan wulan, ruab urab, singkir ros tiwu, dan rante.

Pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, orang yang ahli dalam membuat kujang disebut Guru Teupa. Dalam proses pembuatan sebilah kujang seorang Guru Teupa harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar kujang dapat terbentuk dengan sempurna. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah mengenai waktu untuk memulai membuat kujang yang dikaitkan dengan pemunculan bintang di langit atau bintang kerti. Selain itu, selama proses pengerjaan kujang Guru Teupa harus dalam keadaan suci dengan cara melakukan olah tapa (puasa) agar terlepas dari hal-hal yang buruk yang dapat membuat kujang yang dihasilkan menjadi tidak sempurna. Dan, seorang Guru Teupa harus memiliki kesaktian yang tinggi agar dapat menambah daya magis dari kujang yang dibuatnya. Sebagai catatan, agar sebuah kujang memiliki daya magis yang kuat, biasanya Guru Teupa mengisinya dengan kekuatan gaib yang dapat bersifat buruk atau baik. Kekuatan gaib yang bersifat buruk atau jahat biasanya berasal dari roh-roh binatang, seperti harimau, ular, siluman dan lain sebagainya. Sedangkan kekuatan gaib yang bersifat baik biasanya berasal dari roh para leluhur atau guriyang.

Kelompok Pemilik Kujang
Konon, pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, senjata kujang hanya boleh dimiliki oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan status sosialnya[3] dalam masyarakat, seperti: raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, hanya boleh mempergunakan senjata tradisional atau pakakas, seperti golok, congkrang, sunduk, dan kujang yang fungsinya hanya digunakan untuk bertani dan berladang.

Setiap orang atau golongan tersebut memiliki kujang yang jenis, bentuk dan bahannya tidak boleh sama. Misalnya, kujang ciung yang bermata sembilan buah hanya dimiliki oleh Raja, kujang ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom, dan kujang ciung yang bermata lima buah hanya boleh dimiliki oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis dan Bupati Pakuan. Selain oleh ketiga golongan tersebut, kujang ciung juga dimiliki oleh para tokoh agama. Misalnya, kujang ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh para pandita atau ahli agama, kujang ciung bermata lima buah dimiliki oleh para Geurang Puun, kujang ciung bermata tiga buah dimiliki oleh para Guru Tangtu Agama, dan kujang ciung bermata satu buah dimiliki oleh Pangwereg Agama. Sebagai catatan, para Pandita ini sebenarnya memiliki jenis kujang khusus yang bertangkai panjang dan disebut kujang pangarak. Kujang pangarak umumnya digunakan dalam upacara-upacara keagamaan, seperti upacara bakti arakan dan upacara kuwera bakti sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh negeri.

Begitu pula dengan jenis-jenis kujang yang lainnya, seperti misalnya kujang jago, hanya boleh dimiliki oleh orang yang mempunyai status setingkat Bupati, Lugulu, dan Sambilan. Jenis kujang kuntul hanya dipergunakan oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu, Patih Jaba, dan Patih Palaju) dan Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paseban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero). Jenis kujang bangkong dipergunakan atau dibawa oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, dan Guru Cucuk. Jenis kujang naga dipergunakan oleh para Kanduru, Para Jaro (Jaro Awara, Jaro Tangtu, dan Jaro Gambangan). Dan, kujang badak dipergunakan oleh para Pangwereg, Pamatang, Panglongok, Palayang, Pangwelah, Baresan, Parajurit, Paratutup, Sarawarsa, dan Kokolot.

Sedangkan, kepemilikan kujang bagi kelompok wanita menak (bangsawan) dan golongan wanita yang mempunyai tugas dan fungsi tertentu, misalnya Putri Raja, Putri Kabupatian, Ambu Sukla, Guru Sukla, Ambu Geurang, Guru Aes, dan para Sukla Mayang (Dayang Kabupatian), kujang yang dipergunakan adalah kujang ciung dan kujang kuntul. Sementara untuk kaum perempuan yang bukan termasuk golongan bangsawan, biasanya mereka mempergunakan senjata yang disebut kudi. Senjata kudi ini berbahan besi baja, bentuk kedua sisinya sama, bergerigi dan ukurannya sama dengan kujang bikang (kujang yang dipergunakan wanita) yang langsing dengan ukuran panjang kira-kira satu jengkal (termasuk tangkainya).

Cara Membawa Kujang
Sebagai sebuah senjata yang dianggap sakral dan memiliki kekuatan-kekuatan magis tertentu, maka kujang tidak boleh dibawa secara sembarangan. Ada cara-cara tertentu bagi seseorang apabila ia ingin pergi dengan membawa senjata kujang, diantaranya adalah: (a) disoren, yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang dililitkan di pinggang. Kujang-kujang yang dibawa dengan cara disoren ini biasanya adalah kujang yang bentuknya lebar (kujang galabag), seperti: kujang naga atau kujang badak; (b) ditogel, yaitu dibawa dengan cara diselipkan pada sabuk bagian depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang-kujang yang dibawa dengan cara demikian biasanya adalah kujang yang bentuknya ramping (kujang bangking), seperti kujang ciung, kujang kuntul, kujang bangkong, dan kujang jago; (c) dipundak, yaitu dibawa dengan cara dipikul tangkaian di atas pundak, seperti memikul tumbak. Kujang yang dibawa dengan cara demikian adalah kujang pangarak, karena memiliki tangkai yang cukup panjang; dan (d) dijinjing, yaitu membawa kujang dengan cara ditenteng atau dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara seperti ini biasanya adalah kujang pamangkas atau kujang yang tidak memiliki kowak atau warangka.

Nilai Budaya
Pembuatan kujang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk kujang yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah kujang yang indah dan sarat makna. (pepeng)

Foto: http://www.geocities.com
Sumber:
Nandang. 2004. Senjata Tradisional Jawa Barat. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

R. Satjadibrata. 1954. Kamus Basa Sunda. Citakan ka-2. Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P dan K.

Edi S Ekadjati (ed). 2000. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya

Kamus Umum Basa Sunda. 1975. Bandung: Ternate.

Readmore..

3 tarian khas jawa barat

| | 0 komentar

Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tak terhitung. Semua provinsi memiliki keunggulan budayanya masing-masing. Sebagai contoh, kita sebut saja provinsi Jawa Barat yang memiliki kekayaan tarian tradisional. Dari sekian banyaknya tarian tradisional yang berasal dari Jawa Barat, tiga tarian di antaranya memiliki rating peminat paling tinggi di mancanegara.


Adalah Tari Merak, Tari Topeng, dan Tari Jaipong yang merupakan pemikat mata dunia Internasional untuk selalu datang ke Indonesia. Selain itu, jika ada pentas di mancanegara, maka ketiga tarian ini menjadi tarian yang tak pernah alfa dari daftar pesanan. Apa yang membuat ketiga jenis tarian tradisional ini sangat diminati oleh dunia Internasional? Berikut adalah ulasan lengkapnya.


1. Tari Merak


Tari merak merupakan salah satu jenis tarian kreasi baru dari  tanah pasundan yang diciptakan oleh Raden Tjetjep Soemantri pada 1950-an. Tarian yang dibawakan oleh wanita ini sering diartikan salah dengan dianggap sebagai tiruan gerak merak betina. Padahal Tari Merak merupakan perlambangan gerakan merak jantan yang tengah mengincar perhatian si betina.


Merak jantan memng terkenal sebagai pesolek yang andal. Setiap liukan dan lenggokannya yang selalu berjalan dinamis disertai dengan keindahan bulu ekor yang selalu ditampilkannya selalu berhasil membuat merak betina tertarik. Mungkin dinamisasi gerak inilah yang menjadikan Tari Merak ini menjadi tarian yang begitu digemari oleh masyarakat mancanegara.


Setiap gerak yang ditampilkan para penarinya selalu penuh dengan nuansa kegembiraan, maka tak heran jika Tari Merak ini sering digunakan untuk menyambut tamu atau pengantin pria menuju pelaminan. Kostumnya beraneka warna seperti halnya warna bulu merak yang sangat indah. Selain itu, adanya sayap yang dipenuhi payet yang mampu dibentangkan hanya dengan satu gerakan anggun dari penarinya menambah keindahan pesona tarian ini. 


2. Tari Topeng


Tarian yang berasal dari Cirebon ini merupakan sebuah tarian yang sudah ada sejak lama. Penciptanya adalah sultan Cirebon yang sangat terkenal, yakni Sunan Gunung Jati. Tarian ini biasanya dimainkan oleh satu atau beberapa penari wanita dengan diiringi tetabuhan khas dari alat musik rebab, gendang, goong, kulanter, kecrek, dan sejenisnya. 


Gerakan tangan yang lemah lembut dari para penarinya serta alunan khas alat musik kendang dan rebab yang dominan merupakan salah satu ciri khas tarian ini. Gerakan Tari Topeng diawali dengan formasi membungkuk, yang melambangkan sebentuk penghormatan bagi para penonton sekaligus sebagai tanda bahwa pertunjukan Tari Topeng ini akan dimulai. 


Setelah itu, para penari akan melangkah mundur sambil membentangkan tangan, melemparkan senyuman, dan menggoyangkan pinggulnya sambil memakai topeng. Terdapat 3 warna topeng yang dipakai dalam tarian ini yakni putih, biru, dan topeng warna hitam. Setiap warna topeng memiliki perlambangan yang berbeda.


3. Tari Jaipong


Tari Jaipong atau sering juga disebut Tari Jaipongan adalah sebuah tarian hasil kreativitas seniman Bandung yang bernama Gugum Gumbira. Tari Jaipong terkenal dengan keindahan gerakannya yang bervariasi, seperti gutak, geol, dan goyangannya. Meskipun terkenal karena gerakannya, namun jaipongan adalah sebuah pertunjukan tarian yang rancak, indah, eksotis, dan jauh dari kesan seronok.


Oleh karena itu, saat terjadi perdebatan di kalangan masyarakat yang menuntut agar Tari Jaipong ditiadakan, sontak para penggiat seni Jawa Barat bersuara lantang dan meolaknya, karena bagaimanapun juga Jaipongan adalah salah satu kekayaan budaya. Kalau pun ada yang beranggapan bahwa gerakannya mengandung pornografi, itu hanya pandangan mereka saja yang salah.

Readmore..
 
© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com